Pengantar Redaksi :
Sebenarnya, legenda hidup yang melepas ekspor dan jual di dalam negeri 80 juta USD per tahun dari hasil asli Indonesia ini, telah lama menjadi ikon TIN-IPB, namun artikel sederhana, dan lengkap dalam menggambarkan jungkir balik Pak Nadjikh, patut diketahui dan amat sayang untuk dilewatkan, minimal sebagai bahan inspirasi bagi adik kelasnya, juga bagi cerahnya web ini bagi pengunjung non Alumni...
Jangan-jangan nantinya adalah kewajiban Pak Nadjikh untuk menerima magang tiap tahun selama dua minggu untuk adik-adik kelasnya bersama-sama merasakan sebuah industri rakyat yang merakyat tapi men-dollar juga...
Minimal artikel di bawah bisa menjadi acuan bagi fresh graduate alumni tin, biar tidak salah menulis nama Pak Nadjikh,,...isunya kalo salah nulis nama, berkas lamarannya tidak diprioritaskan untuk dibaca....
Mohammad Nadjikh -- Bos Teri dari Gresik
(Republika)
Ikan teri kecil bentuknya tapi besar rizkinya. Tak percaya? Simak saja penuturan Mohammad Nadjikh, pengusaha ikan teri asal Gresik, Surabaya Jawa Timur ini. Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian Jurusan Teknologi Industri Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1984 ini mampu menduduki posisi 10 besar pengusaha ikan nasional. Itu bermula dari usaha ikan teri.
kurang lebih ada 30 pabrik. Selain itu kami juga ekspor ke Jepang,'' tandas Nadjikh kepada Republika di sela-sela menghadiri Pencanangan Pengembangan Usaha Perikanan Skala Kecil di Lamongan, Jawa Timur belum lama ini. Sebelum terjun di bisnis ikan teri, Nadjikh yang sempat menjadi dosen di IPB selama setengah tahun itu mengungkapkan dirinya pernah bekerja di sebuah perusahaan.
Meski tak terlalu besar, di perusahaan itu ia banyak belajar mulai pembelian, produksi, pengadaan, pemasaran, keuangan hingga SDM. ''Waktu itu saya dapat pekerjaan di pabrik processing coklat milik salah satu BUMN,'' ujarnya. Setelah tahu semuanya, ternyata di perusahaan itu kariernya juga mentok. Ilmunya tidak bisa berkembang karena rupanya ia lebih paham tentang ikan. Ia mengaku sejak kecil diperkenalkan ayahnya pada ikan.
Waktu itu sang ayah seorang 'juragan ikan' yang menjadi pemasok ikan, khususnya untuk perikanan tambak di daerah Gresik dan sekitarnya. Di antaranya ikan bandeng, mujair, mas, dan lain-lain. Sementara itu, pakdenya juga terjun di bisnis ini. Yakni, menekuni usaha udang model black tiger. Maka, sesudah tidak lagi bekerja di pabrik pemrosesan coklat, Nadjikh menerjuni usaha udang bersama temannya. Ia berpikir, karena lokasinya di Surabaya maka menjadi usaha yang menarik. Saat itu ia menduduki posisi business development.
Yakni, bagaimana perusahaan yang tadinya 100 persen memroses udang black tiger beralih ke memroses bukan udang atau ke jenis ikan lain. Ternyata cukup berhasil. Dan, ketika di kemudian hari ada ketidak sesuaian dengan manajemen, akhirnya ia merintis usaha sendiri menekuni bisnis teri. Bersama adik kelasnya di IPB, Lalam Sarlam, Nadjikh memulai usahanya dengan modal sekitar Rp 30 jutaan. Jumlah karyawan 15-an orang. ''Sekarang ada 5.500-an karyawan dari 30-an pabrik,'' ujarnya.
Suami Titi Widayati ini berprinsip, yang terpending dalam usaha ikan teri adalah bagaimana bisa menjaga pasar dan kualitas. Kebetulan pada saat itu terjadi perubahan. Ikan teri menjadi makanan tradisional Jepang. ''Di Jepang penangkapan menurun karena orang-orang Jepang itu tidak ada yang berminat menjadi nelayan. Dari situ kami mencoba mengembangkan pasar dan akhirnya cukup sukses,'' jelasnya mengenang awal-awal terjun di ekspor teri ke Jepang.
Pekerjaan sebelumnya di pemrosesan coklat membuatnya banyak kenal dengan orang-orang Jepang. Mereka sangat butuh produk teri ini. Dan karena mereka sudah tahu kualitas teri produksi Nadjikh, maka terjadi kecocokkan dan kedua belah pihak bekerja sama. Dari sisi pengadaan baku, Nadjikh mengaku tak ada kesulitan memerolehnya. Pihaknya mendapatkannya dari petani nelayan tradisional di sepanjang pantura Jawa dan perairan Madura.
Saat-saat awal menjalankan usaha ini Nadjikh terjun sendiri ke lapangan. Ia mengajari anak buahnya bagaimana membeli, mengelola, melayani pemasok, memroses, mengemas, menimbang, sampai membuat laporan keuangan. Semuanya ditangani sendiri sampai ekspor pun ditangani sendiri. Ia merasa beruntung karena kuliah di jurusan teknik industri karena mendukungnya memahami soal processing. ''Banyak orang berpikir pengawetan ikan itu hanya diasinkan. Saya pikir pengawetan bisa dikeringkan dan dikombinasi dengan penyimpanan dingin.
Selain itu suhu lingkungan perlu kita perhatikan juga, bagaimana dingin supaya bisa terjadi reaksi kimiawi,'' paparnya. Tentang ekspor teri ke Jepang, awalnya sebanyak delapan ton per bulan atau satu kontener. Nilainya 80 ribu dolar AS. Sekarang mencapai 30-an kontener, atau 240 ton per bulan dengan harga per kilogram sembilan dolar AS. Nilai total per bulan mencapai 2,160 juta dolar AS.
''Itu dari ikan teri saja,'' ungkap ayah dari tiga orang putra dan satu putri ini. Pasar ikan teri di Jepang sudah ia kuasai. Di Indonesia perusahaannya menguasai 70 persen pasar. ''Jadi, harga di Jepang itu saya ikut menentukan,'' ujar putra pasangan Munarjo (alm) dan Asnah ini. Menurutnya, kualitas ikan teri Indonesia hampir sama dengan kualitas teri Jepang. Sementara itu kualitas teri dari Thailand dan China lebih rendah dari teri Indonesia.
Bahkan, lanjutnya, orang Jepang pernah mengatakan kepadanya bahwa perusahaannya merupakan perusahaan teri terbesar di dunia. Untuk pengelolaannya, pria kelahiran 8 Juni 1962 ini menyerahkan pada orang-orang kepercayaannya. Ia sengaja merekrut orang dari IPB dan perguruan tinggi negeri dengan nilai IP di atas tiga. ''Karena kalau latar belakang di perguruan tinggi bagus, saya harapkan mereka cepat nyantol kalau diajari bisnis,'' tuturnya.
''Karena mereka lebih kreatif dan tentunya pintar. Penampilan nomor dua. Yang juga penting adalah kejujuran, komitmen, dan disipilin.'' Setelah sukses di bisnis ikan teri, pada 1997 Nadjikh merambah ke bisnis pemrosesan ikan. Salah satunya kakap merah. Ikan itu diekspor ke Amerika, Eropa, China, Korea, Australia, dan Timur Tengah. Ada dua pabrik yang dimiliknya, di Gresik dan Makassar.
( dam )
Mohammad Nadjikh, dengan Ikan Teri Tembus Jepang
(Kompas)
JIKA pada tahun 1994 Mohammad Nadjikh (42) tidak memberanikan diri memulai bisnis ikan teri, mungkin saat ini Indonesia belum dikenal sebagai negara pengekspor teri terbesar ke Jepang. Saat ini perusahaan Nadjikh, PT Kelola Mina Laut yang bergerak di bidang penyediaan makanan hasil laut, menguasai sekitar 75 persen pasar teri medan yang diekspor ke Jepang.
DENGAN merek Prima Star, Nadjikh menargetkan nilai penjualan 100 juta dollar AS tahun ini, naik dari tahun sebelumnya sekitar 80 juta dollar AS. Nadjikh juga mengekspor hasil laut ke Eropa, Taiwan, Korea Selatan, China, Australia, dan negara-negara ASEAN. Selain ikan teri medan, ada sekitar 40 jenis ikan dan berbagai jenis udang serta kepiting yang diproses sesuai standar internasional dengan volume ekspor sekitar 2.500 ton per tahun.
Tahun 2004, target ekspor PT Kelola Mina Laut untuk seluruh komoditas hasil laut sebanyak 17.500 ton. Selain itu, perusahaan ini juga memproduksi makanan laut cepat saji dengan merek dagang Minaku. "Mina itu kan artinya ikan, jadi Minaku itu berarti ikan saya," kata suami dari drh Titik Widajati ini.
BERAWAL dari pabrik pengolahan ikan berdinding anyaman bambu seluas 6.000 meter persegi di Desa Sobontoro, Kecamatan Tambakboyo, Kabupaten Tuban, Jawa Timur (Jatim), pada tahun 1994, kini PT Kelola Mina Laut telah memiliki lima anak perusahaan. Masing-masing adalah PT Kemilau Bintang Timur di Makassar, Sulawesi Selatan; PT Muda Prima Insan di Tuban, Jatim; PT Catur Prima Madura di Sampang, PT Salam Daya Mina di Indramayu, Jawa Barat; dan PT Ikrar Mina Lestari di Surabaya.
Dengan modal sebesar Rp 15 juta, ditambah pinjaman dari sana-sini sebesar Rp 85 juta, Nadjikh mulai membuka pabrik pengolahan ikan. Saat itu ia mengumpulkan ikan sekitar 15 kilogram dari setiap nelayan.
"Pintu pabrik kami pun dijuluki pintu perang, karena jika hendak dibuka-tutup harus diangkat sebab terbuat dari gedhek," tutur Nadjikh yang memilih tanggal 17 Agustus 1994 sebagai waktu pembukaan pabriknya. Pembukaan pabrik itu berbarengan dengan kelahiran anak ketiganya yang lahir kembar, yakni Winanda Yoga Dinamika (laki-laki) dan Winanda Dahlia Kartisari (wanita). Anaknya yang pertama Winanda Prima Mahardika dan yang kedua Winanda Reza Pramudita.
Permasalahan selanjutnya adalah meyakinkan pembeli. Dia mempunyai strategi sendiri, yakni mengundang calon pembeli datang ke pabriknya. "Dari situ mereka melihat saya tidak jual kecap," kata dia.
Dengan kantor pusat di Kabupaten Gresik, Nadjikh kini memimpin bisnis dengan nilai investasi 15 juta dollar AS dan pabrik pengolahan hasil lautnya tersebar antara lain di Kabupaten Gresik, Makassar, dan Jakarta. Nadjikh mengaku belum puas dengan apa yang dia peroleh saat ini. Sebagai perusahaan yang bersaing di pasaran dunia, setiap tahun harus ada ekspansi usaha dan target pendapatan yang meningkat.
Berbagai rencana perusahaan itu harus ditunjang sumber daya manusia yang mumpuni. "Boleh dicek, karyawan saya di tingkat manajemen hampir seluruhnya memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di atas tiga, dengan skala empat pada penilaian," kata Nadjikh.
Dia sering harus mengirimkan stafnya ke beberapa negara yang memiliki teknik produksi lebih unggul, seperti Jepang dan Vietnam. Menurut Nadjikh, hal itu lebih praktis untuk pengembangan SDM ketimbang mengirim mereka sekolah lagi, misalnya. "Terkadang sekolah itu kan tidak tahu tentang praktik bisnis di lapangan, cuma teori saja," kata Nadjikh yang memiliki 5.597 karyawan mulai dari manajemen hingga pekerja kasar.
Sekitar 80 persen tenaga yang dipekerjakan Nadjikh adalah perempuan karena menurut Nadjikh perempuan lebih teliti dan telaten dalam beberapa hal dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki. "Selain itu mereka tidak terlalu banyak menuntut," tuturnya.
Selain itu sekitar 100.000 nelayan di berbagai perairan Nusantara dilibatkan Nadjikh sebagai pemasok utama perusahaan. "Asal ada ikan di tempat itu dan harganya sesuai, kami akan hadir di tempat tersebut," kata Nadjikh. Sistem yang diterapkan adalah mengikuti harga internasional dan diberikan kepada nelayan, sementara koordinator nelayan mendapat komisi.
NADJIKH adalah anak almarhum Munardjo, juragan ikan asal Gresik, kelahiran 8 Juni 1962. Dia menamatkan pendidikan tingginya di Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1984 dengan masa studi tiga tahun sembilan bulan. Ia lulus dengan IPK 3,87 dan skripsinya membahas sistem penunjang keputusan untuk industri kecil dan menengah.
Nadjikh mengatakan, pola berpikir cepat dalam mengambil keputusan banyak ia diadopsi dari bangku kuliah. Ketika pertama kali memulai bisnis, saat itu yang terpikir hanya bagaimana membuat potensi kelautan yang sangat berlimpah di Nusantara berguna untuk orang lain.
Selama ini tidak banyak orang berani memulai menggali potensi kelautan sekaligus memanfaatkannya. "Semua orang hanya kagum dan membesar-besarkan potensi kelautan tanpa ada usaha memanfaatkan. Termasuk orang-orang di perguruan tinggi," kata dia. Alhasil, tingkat kesejahteraan nelayan tidak pernah beranjak dari kemiskinan, sementara yang menikmati kesejahteraan hanya beberapa saudagar dan juragan ikan saja.
"Saya dianggap memulai bisnis yang lucu ketika memulai pertama kali. Saat itu kan sedang subur-suburnya praktik bisnis konglomerasi, kok saya yang bukan siapa-siapa nekat membuka bisnis ikan teri dengan orientasi ekspor lagi," kenang sulung dari delapan bersaudara ini tersenyum.
Sebelum terjun ke dunia bisnis, Nadjikh adalah dosen di IPB. Namun, hanya bertahan sekitar setengah tahun, sebelum pindah ke PT (Persero) Karya Nusantara dan pindah lagi ke PT Istana Cipta Sejahtera dengan jabatan terakhir sebagai development manager. Menurut Nadjikh, dia hanya mengambil nilai tambah dari setiap pekerjaan yang dia geluti.
Dibandingkan dengan upah besar dan perusahaan besar yang ingin merekrutnya, Nadjikh mengatakan ia lebih memilih perusahaan kecil dengan gaji tidak terlalu besar, namun dengan beban tanggung jawab lebih besar. "Dari situlah saya belajar mengelola perusahaan," kata finalis Entrepreneur of the Year dari Ernst & Young Tahun 2003 dan penerima penghargaan Indonesia Export Award "Primaniyarta Award" dari Presiden Indonesia tahun 2001 itu. (S04)
sumber: http://www.alumni-tin.org/content/view/33/64/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar